Berita & Artikel Yogasmara

11 Jul 2023

Penulis : Lani Setyadi dan Saffina Faizati

Pengaruh Gangguan Perut  Dan Intoleransi Makanan Pada Perilaku Anak Dengan Autisme

Beberapa tahun terakhir prevalensi autisme di seluruh dunia mengalami peningkatan.  Terdapat beberapa faktor pencetus yang mempengaruhi meliputi faktor genetik, gangguan metabolik, dysbiosis usus, dan faktor lingkungan seperti keracunan logam berat.

Salah satu faktor pencetus yang saat ini terus mendapatkan perhatian dari dunia medis adalah dysbiosis usus atau ketidakseimbangan flora usus yang disebut leaky gut.

Penelitian menyebutkan bahwa gangguan pada sistem pencernaan (leaky gut) dapat menyebabkan gangguan fungsi otak yang berpengaruh pada perilaku pada anak autis. Leaky gut  atau "usus yang bocor" merupakan kondisi akibat dari pertumbuhan jamur dan bakteri merugikan yang berlebihan dalam usus dan menyebabkan kerusakan dinding usus. Hal ini dapat menyebabkan peradangan di otak,  gangguan metabolisme serta intoleransi terhadap  makanan yang mengandung gluten (terutama tepung terigu)  dan kasein (semua produk dari susu).

Berikut ini beberapa gejala fisik dan perilaku yang mungkin mengindikasikan adanya leaky gut dengan pertumbuhan jamur yang berlebihan:

  1. Gejala Perilaku:
  1. Gangguan tidur
  2. Mengompol
  3. Hiperaktif atau kelelahan
  4. ​Peningkatan perilaku stimulasi diri.
  5. Pekikan bernada tinggi
  6. Peningkatan pencarian sensorik atau defensif
  7. Memanjat/melompat dari benda
  8. Agresif, tantrum (ledakkan kemarahan)
  9. Mengunyah (pada segala sesuatu dan apa saja) dan menggemeretakkan gigi
  10. Tertawa tanpa alasan
  11. Berkurangnya konsentrasi dan focus.
  1. Gejala fisik dapat berupa:
  1. Diare/sembelit
  2. Lidah putih (juga dikenal sebagai sariawan)
  3. Ruam popok
  4. Ruam kulit
  5. Kulit kepala berbau funky
  6. Perut kembung
  7. Perubahan bau feses

Meningkatnya pertumbuhan jamur dalam perut dapat disebabkan oleh faktor-faktor berikut:

  1. Konsumsi gula dan karbohidrat sederhana (nadi) yang berlebihan
  2. Penggunaan antibiotik
  3. Immunodeficiency
  4. Konsumsi  ​makanan olahan.

 

Ada beberapa tes laboratorium yang dapat dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan jamur atau bakteri berlebihan, yaitu Tes feces untuk kultur bakteri dan jamur dan pengujian Asam Organik (OAT).

Sumber: dari berbagai sumber

06 Apr 2023

Penulis : Dharma Saputra Yahya dan Saffina Faizati

Terapi Komplementer Bagi Anak Autis

Gangguan spektrum autis atau biasa disebut dengan autisme merupakan gangguan perkembangan saraf yang mempengaruhi perkembangan bahasa serta kemampuan seorang anak dalam berkomunikasi, berinteraksi serta berperilaku. Autisme bukanlah suatu penyakit melainkan suatu kondisi dimana otak bekerja dengan cara yang berbeda dari orang lain.

Sampai saat ini belum ditemukan suatu cara untuk mencegah terjadinya gangguan spektrum autis pada anak. Oleh karena itu, diperlukan deteksi serta intervensi sejak dini agar anak dengan autisme serta caregiver memiliki kualitas hidup yang lebih baik. Salah satu bentuk terapi yang dapat dilakukan yaitu Transcutaneous Vagus Nerve Stimulation (TVNS).

Transcutaneous Vagus Nerve Stimulation merupakan terapi alternatif non-invasif untuk stimulasi saraf vagus. Saraf vagus merupakan saraf kranial X yang menghubungkan otak dengan organ tubuh yang lain. Secara bahasa kata  “vagus”  memiliki arti mengembara. Hal tersebut dikarenakan saraf vagus menjalar dari otak menuju organ tubuh yang lain seperti leher, dada, dan perut.

Saraf vagus merupakan saraf kranial terpanjang karena memiliki jalur yang lebih panjang dibandingkan dengan saraf kranial yang lain, yaitu dari kepala hingga perut. Saraf vagus memiliki dua kumpulan badan sel saraf sensorik dan menghubungkan batang otak ke tubuh. Hal tersebut memungkinkan otak untuk memantau dan menerima berbagai informasi mengenai fungsi tubuh.

Saraf kranial X ini berperan dalam membantu mengatur berbagai aspek penting dalam tubuh manusia seperti tekanan darah, detak jantung, pencernaan, keringat, serta berbicara, sehingga tidak mengherankan apabila saraf vagus merupakan saraf yang krusial dan kompleks. Selain itu, saraf vagus juga memiliki peran penting dalam fungsi saraf otonom, aktivitas sensorik serta informasi motorik yang berguna untuk gerakan pada tubuh.

Berikut ini beberapa peran saraf vagus dalam fungsi motoric tubuh:

  1. Berbicara
  2. Mengatur gerakan pita suara
  3. Detak jantung
  4. Tekanan darah
  5. Pencernaan, seperti usus dan lambung
  6. Keringat
  7. Pengontrol otot dan kelenjar
  8. Merangsang kelenjar endoktrin yang menghasilkan hormone yang dapat mendukung metabolisme tubuh

Pencernaan merupakan otak kedua dari manusia. Oleh karena itu, kondisi pencernaan yang buruk akan berpengaruh terhadap  kinerja otak dan kesehatan mental seseorang. Para ahli mengatakan bahwa ada keterkaitan antara gangguan pencernaan dengan beberapa penyakit atau gangguan kesehatan lain seperti penyakit autoimun, gangguan kesehatan mental, serta gangguan tumbuh kembang anak seperti autisme.

Dr. Nemechek dalam bukunya yang berjudul ”2nd Ed. eBook, The Nemechek Protocol for Autism and Developmental Disorders” menjelaskan bahwa sistem pencernaan yang mengalami peradangan khususnya di usus halus akan mengakibatkan longgarnya pori pada dinding usus sehingga akan meloloskan zat-zat makanan yang seharusnya tidak diserap masuk dan terdistribusikan ke sel-sel tubuh yang menyebabkan terjadinya inflamasi sistemik sebagai hasil dari respon imun terhadap zat asing yang masuk ke dalam tubuh. Respon imun atau inflamasi sistemik yang terjadi secara berkelanjutan inilah yang nantinya akan berpengaruh pada  proses tumbuh kembang otak anak.

Sebagai jawaban atas permasalahan di atas, Dr. Nemechek memperkenalkan suatu metode terapi untuk membantu menangani gangguan tumbuh kembang anak seperti autisme yaitu dengan menggunakan teknik Transcutaneous Vagus Nerve Stimulation (TVNS). TNVS merupakan salah satu metode stimulasi tambahan yang digunakan untuk membantu meredam kondisi inflamasi pada sistem pencernaan.

Adapun manfaat TVNS adalah sebagai berikut:

  1. Meningkatkan kesehatan mentalTVNS dapat membantu mengurangi stress, anxiety serta depresi dengan meningkatkan aktivitas sistem saraf parasimpatik
  2. Membantu mengurangi rasa sakit atau nyeriTVNS dapat digunakan untuk mengurangi rasa sakit yang disebabkan oleh migraine, sakit kepala, dan nyeri neuropatik
  3. Menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi
  4. Meningkatkan fungsi kognitif termasuk di dalamnya memori, konsentrasi serta kemampuan belajar
  5. Meningkatkan kualitas tidur pada penderita insomnia atau gangguan tidur lainnya
  6. Meredakan gejala inflamsi pada kondisi arthritis, asma, dan penyakit inflamasi usus (IBS). Selain itu, TVNS juga dapat membantu untuk meredakan gejala IBS seperti nyeri, diare, sembelit, dan kembung
  7. Meningkatkan motalitas usus. Stimulasi vagus dapat membantu meningkatkan konstraksi otos usus dan mengurangi resiko sembelit atau konstipasi
  8. Mengurangi frekuensi serangan epilepsy
  9. Meredakan gejala gastroesophageal reflux disease (GERD). Stimulasi vagus dapat membantu mengurangi gejala GERD seperti pada saat asam lambung naik ke kerongkongan dan adanya sensasi terbakar di dada.

Baca Berita Lengkap

27 Mar 2023

Penulis : Saffina Faizati

Dyspraxia

Salah satu pencapaian penting dalam tumbuh kembang anak adalah keterampilan motorik. Kemampuan motorik berperan penting dalam kehidupan anak bahkan sampai anak menginjak dewasa nanti. Oleh karena itu kemampuan ini perlu diasah dengan cara yang tepat dan pada usia yang tepat. Sebab jika anak tidak diberikan stimulasi yang tepat sejak dini dapat berakibat pada munculnya gangguan terkait tumbuh kembang anak dikemudian hari.

Dyspraxia merupakan salah satu gangguan yang dapat terjadi pada masa awal pertumbuhan dan perkembangan anak.

National Health Service menjelaskan bahwa dyspraxia atau yang disebut dengan Developmental Coordination Disorder sebagai gangguan pergerakan dan koordinasi gerak yang disebabkan oleh kelainan pada perkembangan system saraf. Gangguan ini tidak berpengaruh terhadap kecerdasan seseorang, namun dapat berpengaruh terhadap keterampilan motorik halus dan kasar serta perencanaan dan koordinasi motorik, dan pada beberapa kasus individu dengan dyspraxia mengalami kesulitan dalam keterampilan kognitif mereka. Anak-anak dengan dyspraxia, dalam Healthline.com disebutkan memiliki kemungkinan untuk mengalami keterlambatan dalam perkembangannya, seperti berguling, merangkak, duduk, dan berjalan.

Belum diketahui secara pasti penyebab dyspraxia, namun berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh para ahli di Queen Mary University of London diketahui bahwa gangguan ini berkaitan dengan gangguan perkembangan sistem syaraf di otak. Hal tersebut mengakibatkan tergangguanya aliran sinyal saraf dari otak ke anggota tubuh.

Dyspraxia biasanya mulai terlihat pada tahap perkembangan awal anak dan memiliki gejala yang berbeda pada setiap tahap perkembangan anak.

  1. Bayi

Gejala dyspraxia dapat terlihat apabila sewaktu bayi mengalami keterlambatan dalam serangkaian tugas pertumbuhan dan perkembangan awal anak seperti mengangkat kepala, berguling, maupun duduk. Selain itu dapat juga diketahui dengan adanya gejala berikut ini:

  • Iritabilitas yang lebih konsisten
  • Kesulitan makan
  • Posisi tubuh yang tidak biasa
  • Peka terhadap suara keras
  • Gangguan tidur
  • Gerakan lengan dan kaki tingkat tinggi
  1. Balita

Seiring dengan bertambahnya usia, anak akan terlambat dalam mencapai tugas –tugas perkembangan dan keterampilan motorik dibandingkan dengan anak lain yang seusia dengannya. Tugas- tugas tersebut antara lain seperti merangkak, berjalan, toilet training, makan dan menggunakan pakaian sendiri.

  1. Anak usia dini
  • Adanya gangguan motorik misalnya koordinasi tanganmata
  • Kesulitan dengan perencanaan motorik
  • Kesulitan lanjutan dengan kontrol motorik kasar dan halus
  • Perkembangan otot
  • Speech delay
  • Kesulitan menulis
  • Kesulitan dengan memori
  • Kesulitan memahami isyarat sosial
  1. Anak usia sekolah

Pada fase ini anak akan mengalami kesulitan atau keterlambatan pada:

  • mengendalikan keterampilan motorik
  • lebih banyak kesulitan memori
  • keterampilan berbicara
  • perkembangan bahasa
  • kesulitan dengan keterampilan fungsi eksekutif (perencanaan, pengendalian diri, dll.)
  • kemungkinan reaksi dan respons emosional (depresi, kecemasan, dll.)
  • fobia dan ketakutan yang tidak menentu

Meskipun tidak berpengaruh terhadap kecerdasan, dyspraxia dapat menghambat anak dalam belajar dan bersosialisasi. Hal tersebut dikarenakan:

  1. Anak memiliki fokus yang pendek untuk melakukan suatu tugas
  2. Sulit dalam mengikuti maupun mengingat instruksi
  3. Kurangnya keterampilan organisasi 
  4. Sulit untuk mempelajari keterampilan baru
  5. Memiliki self esteem yang rendah
  6. Perilaku yang tidak dewasa 
  7. Sulit membangun hubungan interpersonal dengan teman sebayanya

Pada beberapa kasus, gejala dyspraxia akan hilang dengan sendirinya seiring dengan bertambahnya usia. Semakin cepat anak didiagnosis maka akan semakin cepat bagi orang tua untuk menentukan pengobatan yang tepat. Hal tersebut dikarenakan kebutuhan pengobatan bagi setiap orang berbeda-beda tergantung  pada beberapa faktor. Oleh karena itu penting bagi orang tua untuk mengetahui seberapa parah gejala dan kondisi anak untuk menemukan program dan layanan yang tepat.

Berikut ini beberapa professional kesehatan yang dapat membantu individu dengan dyspraxia

  1. Terapis Wicara
  2. Terapis Perilaku
  3. Psikolog
  4. Dokter Anak
  5. Terapis okupasi
  6. Fisioterapis

Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), dyspraxia berhubungan dengan gangguan spectrum autis dalam tiga hal berikut:

  1. Interaksi sosial dan komunikasi (tetapi tidak terbatas pada)
  • Kontak mata
  • Tidak memberikan respon pada isyarat verbal, misal pada saat namanya dipanggil
  • Sulit untuk mengekspresikan emosinya
  • Minimnya keterlibatan diri dalam permainan purapura
  • Mengalami kesulitan untuk berinteraksi sosial
  • Mengalami kesulitan adalam memberikan respon terhadap music melalui kegiatan seperti bernyanyi, menari
  1. Adanya perilaku dan minat yang terbatas atau berulang, seperti mengepakkan tangan, memutar, memiliki minat terbatas pada sa;ah satu objek/benda (kereta api, dinosourus), rigid terhadap suatu kegiatan, reaksi yang kuat atau tidak biasa terhadap pengalaman sensorik
  2. Tindakan dan aktivitas lain seperti:
  • Mengalami  keterlambatan dalam beberapa aspek seperti komunikasi verbal, perkembangan sosial, perkembangan emosi, perkembangan fisik,
  • Masalah gastrointestinal seperti sakit perut, alergi terhadap suatu makanan
  • Gangguan tidur
  • Memberikan respon yang tidak biasa terhadap suatu situasi
  • Adanya perbedaan dalam pemrosesan sensorik
  • Adanya diagnosis penyerta seperti disleksia, diskalkulia dll

Informasi lebih lanjut mengenai permasalahan pada tumbuh kembang anak, Ayah &  Bunda dapat berkonsultasi dengan dokter anak, terapis atau ahli lainnya.

Sumber:

https://www.autismparentingmagazine.com/links-between-autism-dyspraxia/ diakses pada 15 Februari 2023

https://www.nhs.uk/conditions/developmental-coordination-disorder-dyspraxia-in-adults/  diakses pada 16 Februari 2023

https://www.healthline.com/health/dyspraxia#childhood-symptoms diakses pada 16 februari 2023

Baca Berita Lengkap

20 Mar 2023

Penulis : Saffina Faizati

Mitos atau Fakta: Posisi Duduk-W Tidak Baik Untuk Anak?

Menjadi orang tua merupakan proses belajar seumur hidup. Tumbuh kembang anak menjadi salah satu hal yang tidak pernah luput dari perhatian orang tua. Bunda, pernahkah Anda melihat cara anak duduk di lantai? Salah satu posisi favorit anak saat duduk di lantai adalah posisi duduk-W.

Posisi duduk-W merupakan anak duduk dengan posisi kaki ditekuk ke arah luar sehingga pergelangan kaki dan kaki berada di kedua sisi pinggul anak membentuk seperti huruf W. Menurut laporan International Hip Dyspalsia Institute, posisi duduk-W ini sering dijumpai pada anak usia tiga tahun dan secara alami akan menghilang seiring proses pertumbuhan dan perkembangan anak. Posisi duduk seperti ini dikatakan normal jika hanya dilakukan sesekali oleh anak sebagai bentuk kenyamanan saat anak sedang bermain atau bersantai.

Meskipun posisi duduk-W bukanlah sesuatu yang perlu dikhawatirkan oleh orang tua, namun jika anak terlalu sering duduk dalam  posisi seperti ini dapat menyebabkan atau mengindikasikan adanya masalah pada perkembangan motorik atau  tanda dari masalah perkembangan anak  lainnya. posisi duduk- W ini dapat juga mengindikasikan adanya kondisi tertentu seperti:

  1. kelemahan pada tubuh bagian atas dan  kaki
  2. displasia pinggul
  3. masalah pada muskuloskeletal
  4. masalah koordinasi bilateral;
  5. kondisi neurologis tertentu seperti cerebral palsy

Sampai saat ini posisi duduk-W masih menjadi perbincangan para ahli perkembangan dan pertumbuhan anak, utamanya terkait dampak yang ditimbulkan dari kebiasaan duduk dengan posisi tersebut. Namun jika Bunda khawatir akan dampak negatif yang akan timbul dikemudian hari, alangkah lebih baik Bunda melatih anak untuk duduk dengan baik sejak dini.

Berikut ini merupakan cara  untuk membiasakan anak memiliki posisi duduk yang baik sejak dini menurut  Arnold Palmer Hospital for Children:

  1. Biasakan anak untuk duduk dengan posisi kaki bersila. Posisi ini membantu anak untuk memperkuat otot kaki.
  2. Beri anak alternative tempat duduk yang berbeda seperti beanbag atau bangku kecil. Hal ini akan mendorong anak untuk sering bergerak dan membantu menyeimbangkan ketegangan pada kaki.
  3. Beri anak aktivitas yang dapat menstimulasi perkembangan motoriknya seperti yoga, permainan twister, dan bermain di playground (balok keseimbangan, perosotan, dll)
  4. Melakukan posisi duduk lain seperti jongkok dan berlutut.

Jika anak masih terbiasa duduk dengan posisi W dalam waktu yang lama dan Bunda merasa khawatir dengan kebiasaan duduk tersebut, segera konsultasikan pada dokter anak dan terapis okupasi agar Bunda mendapatkan informasi lebih lanjut terkait kondisi anak.

 

Sumber:

https://www.healthline.com/health/baby/w-sitting#takeaway diakses pada 15 Februari 2023

Baca Berita Lengkap